Revitalisasi Peran Generasi Muda Dalam Proses Akselerasi Pembangunan Melalui Regenerasi dan Restrukturisasi KNPI Sebagai Motor Penggerak Semangat Kepemudaan

Selasa, 11 Juni 2013

Pemuda Dan Agenda Reformasi Bangsa

Istilah pemuda atau generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural. (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, 1987).
Dalam setiap episode transisi politik, peran pemuda-terutama para pemuda “elite” selalu terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar – mahasiswa, profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya – yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati politik yang tinggi.
Dalam konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.
Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan korektif.
Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih sebagai “pengritik” negara.
Pasca tumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru.
Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur.
Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka “merampas” kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.
Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?
Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik “banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses “akumulasi kapital”.
Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.
Oleh : Gatot Yan. S

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru